Senin, 17 Desember 2012

Buruh bukanlah Budak dalam kacamata Islam.


Kapitalisme sebagai sistem yang dominan merupakan dinding yang tebal. Ketika disatu sisi seorang pengusaha sedang lunch di restoran terkenal atau sang pemilik modal sedang melototi bursa saham di layar monitor,maka disisi yang lain sang buruh dengan keringat bercucuran berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.


Sebagai bangsa dengan jumlah kaum pekerja (buruh) cukup besar, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang memiliki catatan kurang harmonis dalam membangun hubungan tripartite antara pekerja-pemerintah-pengusaha. Seringkali kita menyaksikan demonstrasi kaum buruh dalam rangka menuntut hak-haknya yang berakhir dengan kerusuhan. Sehingga muncul suatu pemahaman di masyarakat bahwa gerakan kaum buruh dipersepsikan dengan gerakan kiri yang sering kali bertindak anarki. Persepsi tersebut tidak sepenuhnya benar kalau kita melihat secara jernih akar persoalnnya. Persepsi negatif terhadap gerakan kaum buruh tidak juga salah, terlebih melihat berbagai catatan aksi buruh yang seringkali berakhir anarki.
Persepsi yang menyebut bahwa gerakan buruh sebagai gerakan kiri yang sering bertindak anarki menjadi tidak relevan jika dikaitkan dengan konsepsi agama, dimana semua agama memiliki konsep yang universal tentang keadilan dalam konteks perburuhan.

Memang, upah minimum regional (UMR), yang kemudian berubah menjadi UMP (Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten), terus mengalami kenaikan sesuai dengan perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat kesejahteraan buruh masih dibawah standar. Hal ini yang membuat eskalasi tuntutan dan demontrasi semakin meningkat khususnya yang dilancarkan oleh pekerja.

Buruh juga manusia!!  ,Setidaknya itu yang menjadi konsep dasar agama-agama menempatkan buruh pada proporsinya. Hak-hak kemanusiaan buruh yang universal secara umum berkisar pada masalah-masalah:
(1). hak atas upah yang layak;
(2). Hak untuk tidak dieksploitir;
(3). Hak atas perlindungan kerja.

Keberpihakan Islam terhadap buruh bukan tanpa alasan, sebab buruh merupakan komunitas sosial yang cukup rawan dieksploitir oleh majikan atau pemilik modal. Banyak kasus yang kita jumpai tentang cerita buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya. Banyak contoh terkait persoalan berhubungan dengan ketidak-adilan majikan terhadap buruh.

Buruh bukanlah Budak


Di Indonesia, membicarakan buruh identik artinya dengan membicarkan kaum dhuafa, karena mayoritas buruh yang ada di Indonesia berada pada posisi ‘hidup segan mati tak mau’. Artinya kondisi kaum pekerja (buruh) di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih belum memperoleh hak-hak dengan layak. Meskipun tidak tergolong kaum dhuafa yang wajib disantuni, namun nasib kehidupannya identik dengan kaum miskin yang kini jumlahnya mayoritas.

Sebelumnya kita perlu membedakan antara budak dengan pembantu atau buruh. Budak, jiwa dan raganya milik majikannya, sehingga apapun yang dimiliki budak ini, menjadi milik majikannya. Dia tidak bisa bebas melakukan apapun, kecuali atas izin si majikan. Seratus persen berbeda dengan buruh/pembantu. Hubungan seorang buruh/pembantu dengan majikan, tidak ubahnya seperti pekerja yang sedang melakukan tugas untuk orang lain, dengan gaji sebagaimana yang disepakati. Muamalah antara buruh/pembantu dengan majikan adalah ijarah (sewa jasa). Sehingga seharusnya, beban tugas yang diberikan dibatasi waktu dan kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban pembantu atau buruh.

Di era reformasi, yang didahului dengan perpindahan kekuasaan dalam pemerintahan, serikat buruh tumbuh dengan subur sesuai dengan aspirasi dan tuntutan terhadap pembebasan. Hal tersebut merupakan konsekuensi diratifikasinya Konvensi ILO tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Berorganisasi. Konvensi tersebut memberi peluang yang seluas-luasnya untuk membentuk serikat buruh baru, sesuai dengan kehendak para pekerja/buruh dan dilarang adanya campur tangan dari pihak manapun.
Berkaitan dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni 1998, ILO mendeklarasikan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Deklarasi ini merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO untuk mengubah persepsi yang berkembang, seolah-olah ILO hanya mendukung kepentingan negara maju, sekaligus merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja dan perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan internasional. Deklarasi ILO tersebut bertujuan merekonsiliasi keinginan semua pihak dalam hubungan industrial, menggairahkan usaha-usaha nasional seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi, mengakomodir perbedaan kondisi lokal masing-masing negara, dan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun di pihak perusahaan, para pengusaha tidak dapat segera memenuhi standart perburuhan yang baru, disamping karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, juga karena mereka menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama berkaitan dengan pengeluaran sejumlah biaya 'siluman', yang tidak berhubungan dengan proses produksi. Selain itu persediaan tenaga kerja yang berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk tidak segera merespon tuntutan pekerja yang ada.

Karena ketidakseimbangan supplay dan demand itulah, maka harga (upah) tenaga kerja di Indonesia sangat murah. Upah buruh ditetapkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hanya untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk Opportunity cost, tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di Indonesia faktor yang paling mempengaruhi pasar tenaga kerja masih upah, belum bergeser ke faktor selera, nilai pengalaman, atau faktor non materiil lainnya

Oleh karena itu sangat dimengerti jika buruh selalu menuntut perbaikan nasib. Tahun 2004 ada 103 kasus pemogokan yang melibatkan 44.280 tenaga kerja, sehingga menyebabkan hilangnya jam kerja sebanyak 462.624 jam

Data diatas merupakan fakta tak terbantahkan bahwa posisi buruh memang sangat sulit. Kaum buruh terus hidup dengan kesadaran tradisional, sementara mereka di hadapkan secara langsung dengan praktek-praktek diskursif dan hegemonisasi modal. Kapitalisme telah menjadi ideologi dominan. Ia membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran. Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada praktek kekerasan, penindasan dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani, dan kaum miskin kota). Ironisnya, karena fenomena ini menjadi tontonan keseharian, maka tidak lagi dilihat sebagi kejahatan, tetapi telah diterima sebagai kewajaran.

Buruh di mata islam


Dalam fungsinya yang sebatas regulator, pemerintah sulit menjamin kesejahteraan warganya karena ia tidak mempunyai keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin, atau secara umum terhadap pemerataan keuntungan. Pemerintah memang telah berusaha mengatur upah minimum bagi buruh. Tapi sama sekali tidak menyentuh ‘upah maksimum’ yang dihasilkan oleh modal pengusaha. Sebagai misal, dari modal 1.000.000,- seorang pengusaha mendapatkan laba 1.500.000,. Berapa persenkah ia berhak mengambil keuntungan dari saham modalnya? Kalau buruh hanya diberi UMR, itu artinya selebihnya milik pengusaha, berapapun jumlahnya. Buruh hanya mendapatkan taraf kehidupan minimal, sementara pengusaha mendapatkan keuntungan maksimal. Dalam kondisi ini, maka penumpukan modal tidak akan terhindari.

Hal ini, disadari atau tidak, pada gilirannya dianggap turut bertanggung jawab atas kesenjangan pembagian kekayaan dan pendapatan secara mencolok, karena dalam perkembangannya, ia meningkatkan kekuasaan perusahaan, memonopoli harga, sistem produksi, kebebasan pasar, dan pengejaran keuntungan. Konsep ini, disadari atau tidak, telah membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.
Islam juga tidak sepakat dengan tawaran kepemilikan kolektif dari kaum sosialis, sebagai cara untuk meratakan kemakmuran warganya. Sebab hal itu akan berakibat pada dihapuskannya milik pribadi. Sekalipun skenario totaliter yang dituntun oleh konsep hak kolektif ini dapat membantu mengurangi pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak kekurangankekurangan kapitalis lainnya, namun tidak berarti bebas dari keterbatasanketerbatasan, terutama soal insentif dan kebebasan pribadi. Di bawah komunisme, manusia sesungguhnya diasumsikan sebagai mesin yang tidak berperasaan.

Islam berposisi diantara kapitalis-sosialis yang hanya melihat manusia secara parsial. Islam tidak hanya mengakui hak milik pribadi, tetapi dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluasluasnya dan bermanfaat melalui lembagalembaga yang didirikan dengan bimbingan moral universal.

Islam berkeyakinan bahwa kesejahteraan sosial merupakan sesuatu yang sangat penting. Kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya, bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Propinsi (UMP), para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin, tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahannya sendiri.

Oleh karena itu, perlu dicarikan formula agar mereka mendapatkan pelayanan umum; seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga melindunginya dari ekses industrialisasi seperti pencemaran lingkungan, terganggunya sistem sosial, pengangguran, dan sebagainya. Semua itu tidak mungkin terjadi jika pemerintah hanya berperan sebagai regulator.

Secara umum, prinsip hubungan industrial dalam Islam harus mengakomodir kepentingan buruh yang meliputi:
1.Hak mendapatkan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan kompetensinya.
2.Hak Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sesuai dengan pilihannya.
3.Hak Mendapatkan keselamatan, Kesehatan dan perlindungan kerja, terutama bagi pekerja yang cacat, anak dan perempuan.
4.Hak melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya dengan tetap mendapatkan upah.
5.Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
6.Hak mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.
7.Hak melakukan mogok kerja.

Konsepsi Islam tentang upah sesungguhnya hampir sama dengan Teori Marginal Productivity dan Teori Bargaining. Sebagaimana penjelasan di atas, teori marginal productivity menyatakan bahwa upah tenaga kerja didasarkan pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan menambah upah pekerja sampai batas pertambahan produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang diberikan pada mereka. Dengan cara ini, maka upah dapat ditentukan secara transparan, seksama, adil, dan tidak menindas pihak manapun. 

Setiap pihak mendapat bagian yang sah dari hasil usahanya, tanpa menzalimi pihak yang lain.
Setelah besaran upah berdasarkan produktivitas marjinal ketemu angkanya, kedua belah pihak kemudian melakukan bargaining berdasarkan perubahan umum tingkat harga barang dan biaya kebutuhan hidup, sehingga upah riil merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Islam selalu memotivasi untuk memberikan penjelasan (dan persetujuan) besaran upah dari kedua belah pihak.

Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah, tidak semata-mata pertimbangan produktivitas kerja, memang masalah tersendiri jika majikan memetaforakan tenaga kerja sebagai mesin. Akan tetapi, dengan pertimbangan surplus value dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima. Dalam konteks inilah Islam bisa menerima kehadiran Upah Minimum

Dengan demikian, dalam Islam, upah yang layak bukanlah semata-mata konsesi buruh-majikan, tetapi merupakan hak asasi yang dapat dipaksakan oleh kekuasaan negara. Majikan harus memberikan upah minimum yang bisa menutupi keperluan dasar hidup yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.
Kalangan ulama mengatakan bahwa dalam pandangan Islam tidak menolerir upaya-upaya penundaan pembayaran upah, apalagi tindakan yang menjurus pada penzaliman kepada para pekerja atau buruh.
"Penundaan pembayaran upah untuk pekerja atau buruh merupakan sebuah pelanggaran dan sangat ditentang oleh ajaran Islam,"

KONTRAK KERJA DALAM ISLAM


Di dalam Islam , problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum "kontrak kerja " ( Ijaroh ). Secara definisi, Ijaroh adalah ' transaksi ( aqad ) atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi atau upah'. ( lihat An Nabhaniy dalam Nidzham Iqthishad fil Islam ). Syarat tercapainya transaksi ijaroh tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang melakukan aqad, yaitu , si penyewa tenaga atau majikan ( disebut dengan Musta'jir ) dengan orang yang dikontrak atau pemberi jasa/tenaga ( disebut dengan Ajiir ). Kelayakan tersebut meliputi :

1. Kerelaan ( ke-ridhlo-an ) dua orang yang bertransaksi
2. Berakal dan Mumayyis ( mampu membedakan dan memilih )
3. Jelas upah dan manfaat yang akan di dapat

Dengan Pengertian di atas, maka ' kontrak kerja ' dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu :
1. Manfaat yang di dapat seseorang dari benda ( Manafi'ul A'yan ). Semisal seseorang menyewa rumah, kendaraan, komputer dan sejenisnya.

2. Manfaatyang di dapat seseorang atas kerja /amal seseorang ( Manfa'atul Amal ), semisal arsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan sejenisnya.

3. Manfaat yang di dapat seseorang atas pribadi atau diri seseorang ( Manfa'atul Syakhs ),semisal mengontark kerja atau menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya.

Kebolehan " Kontrak Kerja " dalam Islam


Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut. Allah SWT berfirman :
" Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mempergunakan sebagian yang lain".
( QS.Az-Zukhruf : 32 )

Ibnu Shihab meriwayatkan dengan mengatakan : Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata : " Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga )orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan orang tersebut beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut ( agar berada ) di gua Tsur setelah tiga malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada waktu subuh di hari yang ketiga".

Allah SWT juga berfirman :
" Apabila mereka ( wanita-wanita ) menyusui ( anak ) kalian,maka berikanlah kepada mereka upah-upahnya".( QS. At-Thalaq : 6 )

Ketentuan Kerja


Karena sewa menyewa atau kontrak kerja adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak dengan imbalan upah, maka seorang yang dikontrak ( Ajiir ) haruslah dijelaskan bentuk kerjanya ( job description ), batas waktunya ( timing ) , besar gaji / upah nya ( take home pay ) serta berapa besar tenaga / keterampilannya harus dikeluarkan ( skill ). Bila keempat hal pokok dalam kontrak kerja ini tidak dijelaskan sebelumnya , maka transaksinya menjadi fasid ( rusak ).

Dari Ibnu Mas'ud berkata : Nabi SAW bersabda :
" Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak ( tenaga ) seseorang ajiir maka hendaknya diberitahu upahnya ".

Termasuk yang harus ditentukan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja, sehingga para pekerja tersebut tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya. 

Allah SWT berfirman :
" Allah tidak akan membebani seseorang , selain dengan kemampuannya ".( QS. Al Baqarah : 286 )
Nabi SAW juga bersabda :
" Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu kalian ".
( HR.Imam Bukhari dan Muslim )

Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut seorang pekerja agar mencurahkan tenaga , kecuali sesuai dengan kapasitasnya yang wajar.Karena tenaga tidak mungkin dibatasi dengan takaran yang baku, maka membatasi jam kerja dalam sehari adalah takaran yang lebih ideal. Sehingga pembatasan jam kerja bisa mencangkup pembatasan tenaga yang harus dikeluarkan. Misalnya buruh harian, mingguan atau bulanan.
Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus ditentukan, semisal menggali tanah, menopang atau melunakkan benda, memalu besi, mengemudikan mobil atau bekerja di penambangan.

Dengan begitu , pekerjaan tersebut benar-benar telah ditentukan bentuknya, waktunya, upah dan tenaga yang dicurahkan dalam melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka ketika syara' memperbolehkan menggunakan pekerja, maka syara' ikut menentukan pekerjaannya, jenis , waktu upah serta tenaganya. Sedangkan upah yang diperoleh oleh seorang pekerja sebagai konpensasi dari kerja yang dia lakukan itu merupakan hak milik ( yang halal ) dari orang tersebut, sebagai konsekuensi tenaga yang telah dia curahkakn.

Hak hak buruh dalam islam


Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam, sangat memperhatikan hak asasi manusia, sekalipun dia seorang budak. Para sahabat yang pernah membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik budak maupun orang merdeka, semua merasa puas dengan sikap baik yang beliau berikan. Inilah potret ideal yang bisa dijadikan contoh muamalah antara majikan dengan pembantunya, antara pimpinan dengan pekerjanya.

Pertama
Islam memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka dibawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut pembantu sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.

Kedua
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberikan beban tugas kepada pembantu melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya.
Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari no. 30)

Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).

Keempat
Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, bahwa Allah berfirman:
 Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2114 dan Ibn Majah 2442)
Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada ampunan Allah, tetapi justru Allah menjadi musuhnya.

Kelima
Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai dan pembantunya. Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka itu menjadi pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Keenam
 Islam memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa dengan buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat kambing dan memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568, Baihaqi dalam Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).

Ketujuh,
 Islam menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan Allah, yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan bawahannya. Aisyah menceritakan:
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjumpai salah seorang sahabat yang memukul budak lelakinya. Tepatnya ia sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari. Seketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan sahabat itu dari belakang:
 Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, Allah lebih kuasa untuk menghukummu seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.”
Ketika Abu Mas’ud menoleh, dia kaget karena ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung membebaskan budaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya:
 Andai engkau tidak melakukannya, niscaya neraka akan melahapmu.” (HR. Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang lainnya).
Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya bisa menzalimi bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda bahwa dia tidak berwibawa.

Potret Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pembantunya


Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, adalah diantara daftar pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selama hampir 9 tahun lamanya, sejak di usia 10 tahun, beliau melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berikut testimoni sahabat Anas :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak), beliau menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat. Sementara batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah. Aku pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tengkukku dari belakang. Aku lihat beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda: “Hai Anas, berangkatlah seperti yang aku perintahkan.” “Ya, saya pergi sekarang ya Rasulullah.” Jawab Anas. Beliau memberi kesan:

Demi Allah, aku telah melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 7 atau 9 tahun. Saya belum pernah sekalipun beliau berkomentar terhadap apa yang aku lakukan: “Mengapa kamu lakukan ini?”, tidak juga beliau mengkritik: “Mengapa kamu tidak lakukan ini?” (HR. Muslim 2310 dan Abu Daud 4773).

Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap kebutuhan pembantunya. Bahkan sampai pada menyemangati untuk menikah. Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami, beliau menceritakan:
Saya pernah menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menawarkan: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku jawab: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya dana yang cukup untuk menanggung seorang istri, dan saya tidak ingin disibukkan dengan sesuatu yang menghalangiku untuk melayani Anda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Setelah itu beliau bertanya lagi: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya ….dst.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Kemudian aku ralat ucapanku, aku sampaikan: “Ya Rasulullah, Anda lebih tahu tentang hal terbaik untukku di dunia dan akhirat.” Aku bergumam dalam hatiku: “Jika beliau bertanya lagi, aku akan jawab: Ya.”
Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya lagi untuk yang ketiga kalinya: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku langsung menjawab: “Ya, perintahkan aku sesuai yang Anda inginkan.” Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mendatangi keluarga fulan, salah seorang dari suku Anshar… (HR. Ahmad 16627, Hakim 2718 dan at-Thayalisi 1173).
Tidak hanya bersikap baik dalam urusan dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperhatikan urusan akhirat pembantunya. Beliau pernah memiliki seorang pemabntu yang masih remaja beragama Yahudi. Suatu ketika si Yahudi ini sakit keras. Nabi pun menjenguknya dan memperhatikannya. Ketika merasa telah mendekati kematian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau ajak anak ini untuk masuk Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, seolah ingin meminta pendapatnya. Si bapak mengatakan: ‘Taati Abul Qosim (nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).’ Dia pun masuk Islam. Setelah itu ruhnya keluar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan rumahnya dengan mengucapkan:
 Segala puji bagi Dzat Yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhari 1290).

Demikianlah, betapa indahnya adab yang diajarkan dalam Islam ketika bermuamalah dengan pembantu. Sayangnya, banyak kaum muslimin yang kurang memahami esensi ini, sehingga mereka justru menutupi keindahan ajaran agamanya sendiri..wallahu a’lam

Sekian dulu dari saya,semoga ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

bagi anda yang merasa mempunyai beberapa masalah dalam kehidupan anda bisa melihat

Doa Pelindung,Doa pengasihan,doa penyembuh  dan pembuka rejeki yang di berikan dengan ijazah khusus dapat anda lihat di Doa mustajab

Dengan harapan dari sekian banyak jenis doa yang saya ijazahkan secara khusus ada yang sesuai dengan masalah anda...amiin


Wasalam

Fathul ahadi

Tidak ada komentar:

Hubungi Penulis

Name *
Email *
Pelihal *
pesan *
Powered byEMF HTML Form
Report Abuse