Kapitalisme sebagai sistem yang dominan
merupakan dinding yang tebal. Ketika disatu sisi seorang pengusaha sedang lunch
di restoran terkenal atau sang pemilik modal sedang melototi bursa saham di
layar monitor,maka disisi yang lain sang buruh dengan keringat bercucuran
berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai bangsa dengan jumlah kaum pekerja
(buruh) cukup besar, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang
memiliki catatan kurang harmonis dalam membangun hubungan tripartite antara
pekerja-pemerintah-pengusaha. Seringkali kita menyaksikan demonstrasi kaum
buruh dalam rangka menuntut hak-haknya yang berakhir dengan kerusuhan. Sehingga
muncul suatu pemahaman di masyarakat bahwa gerakan kaum buruh dipersepsikan
dengan gerakan kiri yang sering kali bertindak anarki. Persepsi tersebut tidak
sepenuhnya benar kalau kita melihat secara jernih akar persoalnnya. Persepsi
negatif terhadap gerakan kaum buruh tidak juga salah, terlebih melihat berbagai
catatan aksi buruh yang seringkali berakhir anarki.
Persepsi yang menyebut bahwa gerakan buruh
sebagai gerakan kiri yang sering bertindak anarki menjadi tidak relevan jika
dikaitkan dengan konsepsi agama, dimana semua agama memiliki konsep yang
universal tentang keadilan dalam konteks perburuhan.
Memang, upah minimum regional (UMR), yang
kemudian berubah menjadi UMP (Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah Minimum
Kabupaten), terus mengalami kenaikan sesuai dengan perkembangan daya beli
masyarakat. Namun, persentase kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi
kuat dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat
kesejahteraan buruh masih dibawah standar. Hal ini yang membuat eskalasi
tuntutan dan demontrasi semakin meningkat khususnya yang dilancarkan oleh
pekerja.
Buruh juga manusia!! ,Setidaknya itu yang menjadi konsep dasar
agama-agama menempatkan buruh pada proporsinya. Hak-hak kemanusiaan buruh yang
universal secara umum berkisar pada masalah-masalah:
(1). hak atas upah yang layak;
(2). Hak untuk tidak dieksploitir;
(3). Hak atas perlindungan kerja.
Keberpihakan Islam terhadap buruh bukan tanpa
alasan, sebab buruh merupakan komunitas sosial yang cukup rawan dieksploitir
oleh majikan atau pemilik modal. Banyak kasus yang kita jumpai tentang cerita
buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya. Banyak contoh terkait
persoalan berhubungan dengan ketidak-adilan majikan terhadap buruh.
Buruh bukanlah Budak
Di Indonesia, membicarakan buruh identik
artinya dengan membicarkan kaum dhuafa, karena mayoritas buruh yang ada di
Indonesia berada pada posisi ‘hidup segan mati tak mau’. Artinya kondisi kaum
pekerja (buruh) di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih belum memperoleh
hak-hak dengan layak. Meskipun tidak tergolong kaum dhuafa yang wajib
disantuni, namun nasib kehidupannya identik dengan kaum miskin yang kini
jumlahnya mayoritas.
Sebelumnya kita perlu membedakan antara budak
dengan pembantu atau buruh. Budak, jiwa dan raganya milik majikannya, sehingga
apapun yang dimiliki budak ini, menjadi milik majikannya. Dia tidak bisa bebas
melakukan apapun, kecuali atas izin si majikan. Seratus persen berbeda dengan buruh/pembantu.
Hubungan seorang buruh/pembantu dengan majikan, tidak ubahnya seperti pekerja
yang sedang melakukan tugas untuk orang lain, dengan gaji sebagaimana yang
disepakati. Muamalah antara buruh/pembantu dengan majikan adalah ijarah (sewa
jasa). Sehingga seharusnya, beban tugas yang diberikan dibatasi waktu dan
kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban pembantu atau buruh.
Di era reformasi, yang didahului dengan
perpindahan kekuasaan dalam pemerintahan, serikat buruh tumbuh dengan subur
sesuai dengan aspirasi dan tuntutan terhadap pembebasan. Hal tersebut merupakan
konsekuensi diratifikasinya Konvensi ILO tahun 1948 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Berorganisasi. Konvensi tersebut memberi peluang
yang seluas-luasnya untuk membentuk serikat buruh baru, sesuai dengan kehendak
para pekerja/buruh dan dilarang adanya campur tangan dari pihak manapun.
Berkaitan dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni
1998, ILO mendeklarasikan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja.
Deklarasi ini merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO untuk mengubah persepsi
yang berkembang, seolah-olah ILO hanya mendukung kepentingan negara maju,
sekaligus merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja dan
perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan internasional. Deklarasi ILO
tersebut bertujuan merekonsiliasi keinginan semua pihak dalam hubungan
industrial, menggairahkan usaha-usaha nasional seiring dengan kemajuan
sosial-ekonomi, mengakomodir perbedaan kondisi lokal masing-masing negara, dan
untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun di pihak perusahaan, para pengusaha
tidak dapat segera memenuhi standart perburuhan yang baru, disamping karena
pertumbuhan ekonomi yang rendah, juga karena mereka menghadapi sejumlah pilihan
sulit, terutama berkaitan dengan pengeluaran sejumlah biaya 'siluman', yang
tidak berhubungan dengan proses produksi. Selain itu persediaan tenaga kerja
yang berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk tidak
segera merespon tuntutan pekerja yang ada.
Karena ketidakseimbangan supplay dan demand
itulah, maka harga (upah) tenaga kerja di Indonesia sangat murah. Upah buruh
ditetapkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK) hanya untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan
Hidup Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk Opportunity cost,
tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di
Indonesia faktor yang paling mempengaruhi pasar tenaga kerja masih upah, belum
bergeser ke faktor selera, nilai pengalaman, atau faktor non materiil lainnya
Oleh karena itu sangat dimengerti jika buruh
selalu menuntut perbaikan nasib. Tahun 2004 ada 103 kasus pemogokan yang
melibatkan 44.280 tenaga kerja, sehingga menyebabkan hilangnya jam kerja
sebanyak 462.624 jam
Data diatas merupakan fakta tak terbantahkan
bahwa posisi buruh memang sangat sulit. Kaum buruh terus hidup dengan kesadaran
tradisional, sementara mereka di hadapkan secara langsung dengan
praktek-praktek diskursif dan hegemonisasi modal. Kapitalisme telah menjadi
ideologi dominan. Ia membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran.
Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada praktek kekerasan, penindasan dan
penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani, dan kaum miskin kota).
Ironisnya, karena fenomena ini menjadi tontonan keseharian, maka tidak lagi
dilihat sebagi kejahatan, tetapi telah diterima sebagai kewajaran.
Buruh di mata islam
Dalam fungsinya yang sebatas regulator,
pemerintah sulit menjamin kesejahteraan warganya karena ia tidak mempunyai
keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin, atau secara umum terhadap
pemerataan keuntungan. Pemerintah memang telah berusaha mengatur upah minimum
bagi buruh. Tapi sama sekali tidak menyentuh ‘upah maksimum’ yang dihasilkan
oleh modal pengusaha. Sebagai misal, dari modal 1.000.000,- seorang pengusaha
mendapatkan laba 1.500.000,. Berapa persenkah ia berhak mengambil keuntungan
dari saham modalnya? Kalau buruh hanya diberi UMR, itu artinya selebihnya milik
pengusaha, berapapun jumlahnya. Buruh hanya mendapatkan taraf kehidupan
minimal, sementara pengusaha mendapatkan keuntungan maksimal. Dalam kondisi
ini, maka penumpukan modal tidak akan terhindari.
Hal ini, disadari atau tidak, pada gilirannya
dianggap turut bertanggung jawab atas kesenjangan pembagian kekayaan dan
pendapatan secara mencolok, karena dalam perkembangannya, ia meningkatkan
kekuasaan perusahaan, memonopoli harga, sistem produksi, kebebasan pasar, dan
pengejaran keuntungan. Konsep ini, disadari atau tidak, telah membuat si kaya
menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.
Islam juga tidak sepakat dengan tawaran kepemilikan
kolektif dari kaum sosialis, sebagai cara untuk meratakan kemakmuran warganya.
Sebab hal itu akan berakibat pada dihapuskannya milik pribadi. Sekalipun
skenario totaliter yang dituntun oleh konsep hak kolektif ini dapat membantu
mengurangi pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak kekurangan‑kekurangan kapitalis lainnya, namun tidak berarti
bebas dari keterbatasan‑keterbatasan, terutama soal insentif dan
kebebasan pribadi. Di bawah komunisme, manusia sesungguhnya diasumsikan sebagai
mesin yang tidak berperasaan.
Islam berposisi diantara kapitalis-sosialis
yang hanya melihat manusia secara parsial. Islam tidak hanya mengakui hak milik
pribadi, tetapi dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluas‑luasnya dan bermanfaat melalui lembaga‑lembaga yang didirikan dengan bimbingan moral
universal.
Islam berkeyakinan bahwa kesejahteraan sosial
merupakan sesuatu yang sangat penting. Kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhannya, bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang
terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Propinsi (UMP),
para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin, tidak semata-mata disebabkan
oleh kesalahannya sendiri.
Oleh karena itu, perlu dicarikan formula agar
mereka mendapatkan pelayanan umum; seperti kesehatan, pendidikan, transportasi,
perumahan, dan lain-lain, disamping juga melindunginya dari ekses
industrialisasi seperti pencemaran lingkungan, terganggunya sistem sosial,
pengangguran, dan sebagainya. Semua itu tidak mungkin terjadi jika pemerintah
hanya berperan sebagai regulator.
Secara umum, prinsip hubungan industrial dalam
Islam harus mengakomodir kepentingan buruh yang meliputi:
1.Hak mendapatkan pendidikan dan keterampilan
sesuai dengan kompetensinya.
2.Hak Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan
sesuai dengan pilihannya.
3.Hak Mendapatkan keselamatan, Kesehatan dan
perlindungan kerja, terutama bagi pekerja yang cacat, anak dan perempuan.
4.Hak melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh
agamanya dengan tetap mendapatkan upah.
5.Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
6.Hak mendirikan dan menjadi anggota serikat
buruh.
7.Hak melakukan mogok kerja.
Konsepsi Islam tentang upah sesungguhnya
hampir sama dengan Teori Marginal Productivity dan Teori Bargaining.
Sebagaimana penjelasan di atas, teori marginal productivity menyatakan bahwa
upah tenaga kerja didasarkan pada permintaan dan penawaran tenaga kerja.
Pengusaha akan menambah upah pekerja sampai batas pertambahan produktivitas
marjinal minimal sama dengan upah yang diberikan pada mereka. Dengan cara ini,
maka upah dapat ditentukan secara transparan, seksama, adil, dan tidak menindas
pihak manapun.
Setiap pihak mendapat bagian yang sah dari hasil usahanya, tanpa
menzalimi pihak yang lain.
Setelah besaran upah berdasarkan produktivitas
marjinal ketemu angkanya, kedua belah pihak kemudian melakukan bargaining
berdasarkan perubahan umum tingkat harga barang dan biaya kebutuhan hidup,
sehingga upah riil merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Islam selalu
memotivasi untuk memberikan penjelasan (dan persetujuan) besaran upah dari
kedua belah pihak.
Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah,
tidak semata-mata pertimbangan produktivitas kerja, memang masalah tersendiri
jika majikan memetaforakan tenaga kerja sebagai mesin. Akan tetapi, dengan
pertimbangan surplus value dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima. Dalam
konteks inilah Islam bisa menerima kehadiran Upah Minimum
Dengan demikian, dalam Islam, upah yang layak
bukanlah semata-mata konsesi buruh-majikan, tetapi merupakan hak asasi yang
dapat dipaksakan oleh kekuasaan negara. Majikan harus memberikan upah minimum
yang bisa menutupi keperluan dasar hidup yang meliputi makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan sebagainya.
Kalangan ulama mengatakan bahwa dalam
pandangan Islam tidak menolerir upaya-upaya penundaan pembayaran upah, apalagi
tindakan yang menjurus pada penzaliman kepada para pekerja atau buruh.
"Penundaan pembayaran upah untuk pekerja
atau buruh merupakan sebuah pelanggaran dan sangat ditentang oleh ajaran
Islam,"
KONTRAK KERJA DALAM ISLAM
Di dalam Islam , problem perburuhan diatur
oleh hukum-hukum "kontrak kerja " ( Ijaroh ). Secara definisi, Ijaroh
adalah ' transaksi ( aqad ) atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi
atau upah'. ( lihat An Nabhaniy dalam Nidzham Iqthishad fil Islam ). Syarat
tercapainya transaksi ijaroh tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang
melakukan aqad, yaitu , si penyewa tenaga atau majikan ( disebut dengan
Musta'jir ) dengan orang yang dikontrak atau pemberi jasa/tenaga ( disebut
dengan Ajiir ). Kelayakan tersebut meliputi :
1. Kerelaan ( ke-ridhlo-an ) dua orang yang
bertransaksi
2. Berakal dan Mumayyis ( mampu membedakan dan
memilih )
3. Jelas upah dan manfaat yang akan di dapat
Dengan Pengertian di atas, maka ' kontrak
kerja ' dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu :
1. Manfaat yang di dapat seseorang dari benda
( Manafi'ul A'yan ). Semisal seseorang menyewa rumah, kendaraan, komputer dan
sejenisnya.
2. Manfaatyang di dapat seseorang atas kerja
/amal seseorang ( Manfa'atul Amal ), semisal arsitek, tukang kebun, buruh
pabrik dan sejenisnya.
3. Manfaat yang di dapat seseorang atas
pribadi atau diri seseorang ( Manfa'atul Syakhs ),semisal mengontark kerja atau
menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya.
Kebolehan " Kontrak Kerja " dalam Islam
Islam memperbolehkan seseorang untuk
mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang
tersebut. Allah SWT berfirman :
" Apakah mereka membagi-bagi rahmat
Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mempergunakan sebagian yang
lain".
( QS.Az-Zukhruf : 32 )
Ibnu Shihab meriwayatkan dengan mengatakan :
Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata : "
Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga )orang dari Bani Dail
sebagai penunjuk jalan, sedangkan orang tersebut beragama seperti agamanya
orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan beliau kepada
orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut ( agar berada )
di gua Tsur setelah tiga malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada
waktu subuh di hari yang ketiga".
Allah SWT juga berfirman :
" Apabila mereka ( wanita-wanita )
menyusui ( anak ) kalian,maka berikanlah kepada mereka upah-upahnya".( QS.
At-Thalaq : 6 )
Ketentuan Kerja
Karena sewa menyewa atau kontrak kerja adalah
memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak dengan imbalan upah, maka seorang yang
dikontrak ( Ajiir ) haruslah dijelaskan bentuk kerjanya ( job description ),
batas waktunya ( timing ) , besar gaji / upah nya ( take home pay ) serta
berapa besar tenaga / keterampilannya harus dikeluarkan ( skill ). Bila keempat
hal pokok dalam kontrak kerja ini tidak dijelaskan sebelumnya , maka
transaksinya menjadi fasid ( rusak ).
Dari Ibnu Mas'ud berkata : Nabi SAW bersabda :
" Apabila salah seorang diantara kalian,
mengontrak ( tenaga ) seseorang ajiir maka hendaknya diberitahu upahnya ".
Termasuk yang harus ditentukan adalah tenaga
yang harus dicurahkan oleh pekerja, sehingga para pekerja tersebut tidak
dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya.
Allah SWT berfirman :
" Allah tidak akan membebani seseorang ,
selain dengan kemampuannya ".( QS. Al Baqarah : 286 )
Nabi SAW juga bersabda :
" Apabila aku telah memerintahkan kepada
kalian suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu kalian ".
( HR.Imam Bukhari dan Muslim )
Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut
seorang pekerja agar mencurahkan tenaga , kecuali sesuai dengan kapasitasnya
yang wajar.Karena tenaga tidak mungkin dibatasi dengan takaran yang baku, maka
membatasi jam kerja dalam sehari adalah takaran yang lebih ideal. Sehingga
pembatasan jam kerja bisa mencangkup pembatasan tenaga yang harus dikeluarkan.
Misalnya buruh harian, mingguan atau bulanan.
Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus
ditentukan, semisal menggali tanah, menopang atau melunakkan benda, memalu
besi, mengemudikan mobil atau bekerja di penambangan.
Dengan begitu , pekerjaan tersebut benar-benar
telah ditentukan bentuknya, waktunya, upah dan tenaga yang dicurahkan dalam
melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka ketika syara' memperbolehkan
menggunakan pekerja, maka syara' ikut menentukan pekerjaannya, jenis , waktu
upah serta tenaganya. Sedangkan upah yang diperoleh oleh seorang pekerja
sebagai konpensasi dari kerja yang dia lakukan itu merupakan hak milik ( yang
halal ) dari orang tersebut, sebagai konsekuensi tenaga yang telah dia
curahkakn.
Hak hak buruh dalam islam
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam,
sangat memperhatikan hak asasi manusia, sekalipun dia seorang budak. Para
sahabat yang pernah membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik budak
maupun orang merdeka, semua merasa puas dengan sikap baik yang beliau berikan.
Inilah potret ideal yang bisa dijadikan contoh muamalah antara majikan dengan
pembantunya, antara pimpinan dengan pekerjanya.
Pertama
Islam memposisikan pembantu sebagaimana
saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Saudara kalian adalah budak kalian. Allah
jadikan mereka dibawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
pembantu sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.
Kedua
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
memberikan beban tugas kepada pembantu melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa
itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya.
Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan
jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari no.
30)
Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
para majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi
sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum
kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).
Keempat
Islam memberi peringatan keras kepada para
majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan,
bahwa Allah berfirman:
“Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku
pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi
tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2114
dan Ibn Majah 2442)
Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh
kepada ampunan Allah, tetapi justru Allah menjadi musuhnya.
Kelima
Islam memotivasi para majikan agar meringankan
beban pegawai dan pembantunya. Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu,
maka itu menjadi pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya
dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
Keenam
Islam
memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa dengan
buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Bukan orang yang sombong, majikan yang makan
bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau
mengikat kambing dan memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568,
Baihaqi dalam Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).
Ketujuh,
Islam
menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan Allah,
yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan
bawahannya. Aisyah menceritakan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah memukul dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula
budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
menjumpai salah seorang sahabat yang memukul budak lelakinya. Tepatnya ia
sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari. Seketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan sahabat itu dari belakang:
“Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, Allah lebih kuasa
untuk menghukummu seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.”
Ketika Abu Mas’ud menoleh, dia kaget karena
ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung
membebaskan budaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya:
“Andai engkau tidak melakukannya, niscaya
neraka akan melahapmu.” (HR. Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang
lainnya).
Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya
bisa menzalimi bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda
bahwa dia tidak berwibawa.
Potret Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pembantunya
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, adalah
diantara daftar pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selama hampir 9 tahun lamanya, sejak di usia 10 tahun, beliau melayani Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut testimoni sahabat Anas :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih
kanak-kanak), beliau menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak
mau berangkat. Sementara batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan
perintah Nabi Allah. Aku pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak
yang sedang bermain di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tengkukku dari belakang. Aku lihat
beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda: “Hai Anas, berangkatlah seperti
yang aku perintahkan.” “Ya, saya pergi sekarang ya Rasulullah.” Jawab Anas.
Beliau memberi kesan:
Demi Allah, aku telah melayani Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 7 atau 9 tahun. Saya belum pernah
sekalipun beliau berkomentar terhadap apa yang aku lakukan: “Mengapa kamu
lakukan ini?”, tidak juga beliau mengkritik: “Mengapa kamu tidak lakukan ini?” (HR.
Muslim 2310 dan Abu Daud 4773).
Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap kebutuhan
pembantunya. Bahkan sampai pada menyemangati untuk menikah. Dari Rabi’ah bin
Ka’b al-Aslami, beliau menceritakan:
Saya pernah menjadi pelayan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau menawarkan: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku
jawab: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya dana
yang cukup untuk menanggung seorang istri, dan saya tidak ingin disibukkan
dengan sesuatu yang menghalangiku untuk melayani Anda.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Setelah itu beliau bertanya lagi:
“Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama:
“Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya tidak punya ….dst.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpaling dariku. Kemudian
aku ralat ucapanku, aku sampaikan: “Ya Rasulullah, Anda lebih tahu tentang hal
terbaik untukku di dunia dan akhirat.” Aku bergumam dalam hatiku: “Jika beliau
bertanya lagi, aku akan jawab: Ya.”
Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tanya lagi untuk yang ketiga kalinya: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku
langsung menjawab: “Ya, perintahkan aku sesuai yang Anda inginkan.”
Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk
mendatangi keluarga fulan, salah seorang dari suku Anshar… (HR. Ahmad 16627,
Hakim 2718 dan at-Thayalisi 1173).
Tidak hanya bersikap baik dalam urusan dunia,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperhatikan urusan akhirat
pembantunya. Beliau pernah memiliki seorang pemabntu yang masih remaja beragama
Yahudi. Suatu ketika si Yahudi ini sakit keras. Nabi pun menjenguknya dan
memperhatikannya. Ketika merasa telah mendekati kematian, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau ajak anak
ini untuk masuk Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, seolah ingin meminta
pendapatnya. Si bapak mengatakan: ‘Taati Abul Qosim (nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).’ Dia pun masuk Islam. Setelah itu ruhnya keluar. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan rumahnya dengan mengucapkan:
“Segala puji bagi Dzat Yang telah
menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhari 1290).
Demikianlah, betapa indahnya adab yang
diajarkan dalam Islam ketika bermuamalah dengan pembantu. Sayangnya, banyak
kaum muslimin yang kurang memahami esensi ini, sehingga mereka justru menutupi
keindahan ajaran agamanya sendiri..wallahu a’lam
Sekian dulu dari saya,semoga ini bisa
bermanfaat bagi kita semua.
bagi anda yang merasa mempunyai
beberapa masalah dalam kehidupan anda bisa melihat
Doa
Pelindung,Doa pengasihan,doa penyembuh dan pembuka rejeki yang di berikan dengan
ijazah khusus dapat anda lihat di Doa mustajab
Dengan harapan dari sekian banyak
jenis doa yang saya ijazahkan secara khusus ada yang sesuai dengan masalah
anda...amiin
Wasalam
Fathul ahadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar