Isra Mi’raj adalah dua bagian dari perjalanan
yang dilakukan oleh Muhammad dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini
merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa
ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.
Peristiwa Isra Mikraj terbagi dalam 2
peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
"diberangkatkan" oleh Allah SWT dari
Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW
dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi.
Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat
lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan
peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan
tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti
ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal
yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’
Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para
nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam
hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib.
Sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup
kaedah berikut :
1.Menerima
berita tersebut.
2.Mengimani
tentang kebenaran berita tersebut.
3.Tidak
menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan
kenyataannya.
4.Kewajiban
kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang
terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita
atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5.Hendaknya
kita meneladani sifat para sahabat radhiyallahu ‘anhum
terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa
setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar
As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka
mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau
ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah
pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut
hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang
mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena
sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik kembali
bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan seandainya
berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit
yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau
tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim
dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha)
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau langsung
membenarkan dan meyakini berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya,
meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu.
Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih
dari Allah dan rasul-Nya.
Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
(QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak
pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang
mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang
asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu
bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung
busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya
(Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang
telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya
tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal,
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu
dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak
terdapat dalam hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al Albani
rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan
16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu
Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab,
Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus,
Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar
radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah
ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya , dari
sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari
keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung
pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun
menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat
yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke
masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku
Jibril ‘alaihis salaam dengan membawa
bejana berisi khamar dan bejana berisi
air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “
Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan
Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke
langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin
Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah
dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau
telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan mendoakan
kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keempat dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:
“Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah
diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu
dengan Idris alaihis salaam. Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan
Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah
dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan
Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan
untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan:
“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi
kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:
“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad”
Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim.
Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke
Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian
Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti
telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi
oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk
Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
Lalu
Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50
shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam. Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan
Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah
kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan
mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani
Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata:
“Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat.
Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5
shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya,
maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus
saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam,
sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5
shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat.
Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak
ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka
ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu
dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata:
“Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”.
(H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke
kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168
dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini. Terdapat pula
tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.
Makna Terpenting Dalam Isra Mi’raj
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa
menjabarkan hakikat perjalanan isra' mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada
manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai
bahwa isra' mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS.
Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada
Rasulullah SAW.
Makna terpenting isra' mi'raj bagi ummat Islam
ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini
menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti
dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun
sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang
mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat
badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang
didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu
membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)
Hikmah lainnya dalam isra mi’raj
Beberapa pelajaran yang seharusnya kita
tangkap dari perjalanan agung tersebut:
1.Penyejuk Jiwa
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar
setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu).
Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah
tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya,
isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan
meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays
terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan,
kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya
"rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala
sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah
deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan,
mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh
Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa)
menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para
nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di
"Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram
keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi
Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad
menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah
"rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa
terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang
menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki
ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih
tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang
menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu
adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung
jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan
sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan
kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu.
Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung
pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang
pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan
sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
2. Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril,
beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan
air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat
dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati,
atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba
yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi
dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah",
pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja
"muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus
menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya.
"Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya,
haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan.
Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa
"kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam
perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya.
Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan
hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang
ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa
alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna
yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan
kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh
kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam
menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian
"penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih
bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena
manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam
pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia
yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan
noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik
inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu
'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman
Yang Artinya: Sungguh beruntung siapa yang
mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka
sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan
senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
3. Memilih manfaat
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan
sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh
menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang
belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal,
menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang
pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi,
Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang
ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan
selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan
kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda
kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak
yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak
senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan
memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan
kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitrah menjadi acuan, lentera, pedoman dalam
mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh
karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata
kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi
merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya fitrah insaniyah kita.
Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali
fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
4. seorang pemimpin yang agung
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi
seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha
Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi
simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa
menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat
berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa
(nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh
kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat
besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima
menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar
bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership",
walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah
sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia.
Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan
kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah,
sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama.
Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi
seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah
pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi
muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki
kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang
disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada
kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin
yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan
adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi
pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang
kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah,
bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak
yang bersifat negatif.
Kelima: Hadiah shalat sebagai benteng utama
kehidupan
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut
segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya.
Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan
Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan
dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab
duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu,
harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan
yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut
untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat
berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita
melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju
kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah
banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari
"karuniaNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW
membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan
serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).
Akhirul kalam sebagai umat muslim kita wajib
mengimani peristiwa Isra mi’raj termasuk mengimani perkara-perkara ghaib yang
disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga
langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta
sifat-sifatnya, surga, dan selainnya
Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan
ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni
Allah tinggi berada di atas langit
ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari
dahulu hingga sekarang.
Waallahu a'lamu bishowab.
Sekian dulu dari saya,semoga ini bisa
bermanfaat bagi kita semua.
bagi anda yang merasa mempunyai
beberapa masalah dalam kehidupan anda bisa melihat
Doa
Pelindung,Doa pengasihan,doa penyembuh dan pembuka rejeki yang di berikan dengan
ijazah khusus dapat anda lihat di Doa mustajab
Dengan harapan dari sekian banyak
jenis doa yang saya ijazahkan secara khusus ada yang sesuai dengan masalah anda...amiin
Wasalam
3 komentar:
Alhamdulillah...bermanfaat sekali..semoga allah SWT membalas kebaikannya...amienn
Alhamdulillah amin ya allah smog bermanfaat bagi setiap pembaca mengenai isra miraj
Alhamdulillah amin ya allah smog bermanfaat bagi setiap pembaca mengenai isra miraj
Posting Komentar